Wacana menaikkan harga eceran tertinggi (HET) pupuk bersubsidi yang sempat mengemuka dibatalkan oleh pemerintah. Keputusan pemerintah untuk membatalkan kenaikan harga eceran tertinggi (HET) pupuk pada April 2010. Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Anggito Abimanyu menjelaskan, HET pupuk batal naik tahun ini dan sebaliknya anggaran belanja pemerintah akan ditambah guna menambal subsidi.
Batalnya kenaikan Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk bersubsidi dengan menambah subsidi menjadi perbincangan yang hangat oleh beberapa kalangan. Beberapa pihak menyatakan bahwa kenaikan HET ini dapat mengurangi akses petani untuk memperoleh pupuk. Sebaliknya di beberapa daerah beberapa pihak menyatakan bahwa petani di beberapa daerah sudah menyatakan siap membeli pupuk kimia dengan harga mahal, untuk mensubstitusi dengan pupuk organik.
Dengan pembatalan HET pupuk bersubsidi ini menurut Ketua Dewan Pupuk Indonesia, Soedjais, upaya mengembangkan konsumsi pupuk organik menggantikan pupuk kimia akan sia-sia. Soedjais mengaku sudah lama mengusulkan kepada Menko Perekonomian Hatta Rajasa, bahkan Wakil Presiden Boediono agar HET pupuk dinaikkan sebesar 30 persen dan setiap tahunnya mengalami kenaikan sebesar 30 persen.
�Sehingga pada tahun ketiga, harga pupuk kita sudah market price dan tidak tergantung dengan subsidi lagi,� ujarnya.
Dengan pembatalan rencana kenaikan ini, dia memperkirakan, pemerintah harus menambal subsidi pupuk sebesar Rp 25-28 triliun, atau mengalami peningkatan Rp 17 triliun dari subsidi tahun lalu.
Sementara dengan mekanisme subsidi harga pupuk, Soedjais menilai tidak akan mendorong produktivitas pabrik pupuk. Upaya pemerintah untuk menjaga ketahanan pangan, juga tidak relevan dengan dianulirnya rencana kenaikan HET.
�Seharusnya jika pemerintah concern dengan ketahanan pangan, maka akan mendorong perbaikan kualitas tanah. Itu bisa dilakukan jika mengkonsumsi pupuk organik atau pupuk bio,� ujarnya.
Dengan masih adanya subsidi pupuk kimia, kata dia, maka petani akan semakin kecanduan pupuk kimia murah. Hingga saat ini, konsumsi pupuk kimia mencapai 8 juta ton, sementara pupuk organik masih sekitar 1-2 juta ton.
Padahal, menurut Soedjais, konsumsi pupuk kimia harus ditekan menjadi 4 juta ton dan sisanya untuk pupuk organik. �Negara-negara lain sudah melakukan, seperti Jepang, Korea, dan Taiwan,� ujarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar