Kalau kita berbicara tentang padi hibrida, tentu dalam fikiran kita akan terlintas tentang kehebatan produk-produk pertanian yang berlabel hibrida yang lain. Seperti jagung hibrida, cabai hibrida, tomat hibrida, melon hibrida dan lain sebagainya.
Namun sayang cerita padi hibrida tak seindah komoditi pertanian hibrida yang lain.
Beberapa varietas padi hibrida telah diluncurkan di Indonedia diantaranya Arize dari PT Bayer, Intani 1 dan 2 dari PT Tanindo, PP1, H1 dari PT Pioneer dan Bernas prima dari PT Sumber Alam Sutera. Sudah bertahun-tahun petani kita menguji keberadaan padi hibrida dengan segudang harapan untuk dapat mendongkrak produksinya. Baik petani membeli sendiri dari kios pertanian, petani diberi sample oleh produsen padi hibrida tersebut dan petani mendapatkan bantuan-bantuan dari pemerintah melalui program SLPTT maupun program yang lain.
Sebenarnya petani sangat antusias ketika mendengar pertama kali tentang kehebatan padi hibrida yang notabene bisa berproduksi hingga 12 ton per hektar. Petani mana yang tidak tergiur jika produksinya akan mencapai 12 ton per hektar?
Dan kini setelah beribu-ribu petani kita menanam padi hibrida bahkan bukan hanya sekali tetapi berkali-kali mereka seakan jera dan trauma. Dari berbagai macam jenis padi hibrida yang telah mereka coba ternyata belum mendapatkan hadil yang maksimal.
Sebenarnya ada apa dengan padi hibrida?
Memang benar padi hibrida mempunyai kelebihan berpotensi produksi sangat tinggi dan mempunyai kualitas beras yang pulen dan wangi. Tetapi apakah akan mampu berproduksi tinggi jika memiliki bermacam-macam kelemahan seperti dibawah ini ?
- Walaupun tertulis dikemasannya tahan berbagai macam penyakit ternyata dilapangan tidaklah demikian. Sebagai bukti banyak padi hibrida yang ditanam petani terserang hawar daun bakteri (kresek), hawar pelepah dan blast.
- Padi hibrida terbukti sangat rawan terhadap serangan hama wereng, sundep/ beluk dan ulat.
- Padi hibrida membutuhkan pemupukan yang lebih banyak jika dibanding dengan varietas unggul lokal sehingga akan menambah biaya produksi bagi petani.
- Walaupun mempunyai bulir malai yang banyak (hingga 400) tetapi seringkali bulir tersebut tidak terisi semua. Kadangkala pengisian bulir padinya juga tidak bisa penuh.
- Padi hibrida kurang memiliki adaptasi lingkungan yang tinggi, sehingga hanya spot-spot lokasi tertentu yang cocok untuk penanaman padi hibrida.
- Walaupun variets tertentu tertulis tahan kering dan cocok untuk gogorancah tetapi kehebatanya tidak pernah lebih dari varietas situbagendit dan IR 64.
- Mempunyai bentuk tanaman yang tinggi dan besar sehingga akan mempersulit petani dalam perawatannya.
- Benih padi hibrida tidak bisa ditanam kembali oleh petani. Hal tersebut akan menjadikan monopoli pasar bagi produsen benih tersebut.
- Harga benih padi hibrida jauh lebih mahal (Sekitar Rp.45.000/ kg) jika dibanding dengan variatas unggul lokal yang hanya sekitar Rp.5000/ kg. Ini akan membengkakkan pengeluaran petani.
- Memerlukan perawatan dan perhatian yang lebih hati-hati, sehingga akan menambah pengeluaran tenaga dan biaya bagi petani.
Dari kelemahan-kelemahan padi hibrida tersebut saya kira bisa menjadi pertimbangan bagi pemerintah dan dinas pertanian dalam hal pemberian bantuan benih bagi petani dan untuk kebijakan program-program yang lain. Petani kita belum bisa menerima teknologi yang rumit-rumit dan ribet-ribet karena mengingat SDM petani kita belum tergantikan dengan generasi muda.
Ada yang mau menambahkan kelemahan-kelemahan dari padi hibrida tersebut? atau mau memberikan sanggahan dan kritikan terhadap artikel ini, silahkan beri komentar dibawah ini.
-maspary-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar