Rabu, 19 Mei 2010

LUMBUNG DESA SEBAGAI PENOPANG PETANI DISAAT PACEKLIK

lumbung Salam pertanian! Walaupun aneh tapi ini benar-benar terjadi di Indonesia. Raskin (beras miskin) jatah beras yang seharusnya diperuntukkan bagi orang-orang kota miskin ternyata petani sebagai produsen beras juga ikut terdaftar mendapatkannya, ironis memang. Sebenarnya hal ini tidak perlu terjadi kalau petani selalu tanggap terhadap keadaan tersebut.

Lumbung Desa atau disebut juga Lumbung padi atau ada yang menyebutnya juga lumbung paceklik adalah solusinya. Budaya teramat luhur yang sudah terbentuk sejak ratusan tahun yang lalu kini sudah mulai luntur tertelan jaman. Jarang sekali petani bahkan pemerintah desa yang memikirkan pentingnya lumbung desa sebagai cadangan pangan saat paceklik.

Lumbung desa selain berfungsi sebagai cadangan pangan disaat paceklik juga mempunyai nilai-nilai kegotong royongan yang tinggi. Mereka (petani) sadar betul bahwa hidup ini harus dibangun dengan berwawasan hari esok sehingga mereka akan mempunyai jiwa menabung walaupun hanya berbentuk gabah. Namun jauh didalamya terkandung nilai berhemat. Mereka bersama-sama akan menyisihkan hasil panennya sebagian dalam bentuk gabah sebagai jadangan pangan mereka disaat paceklik.

Semakin panjang perjalanan waktu lumbung padi kalah bersaing dengan budaya kredit bank yang semakin menguasai keadaan. Petani disaat paceklik akan meminjam uang dari bank kemudian akan mengembalikannya disaat panen dengan tambahan bunga 1-2,5 %.

Keterpurukan petani akan diperparah dengan anjloknya harga jual gabah disaat musim panen tiba yang selalu lebih rendah dibanding dengan harga jual gabah yang ditetapkan oleh pemerintah. Adanya tengkulak juga akan semakin memperburuk keadaan petani dikarenakan akan mengurangi margin keuntungan petani dan menjadi pemicu harga jual gabah menjadi rendah.

Keterbatasan keuangan petani akan menyebabkan ketidakberdayaan mereka, dilematis memang. Dalam kondisi harga gabah murah yang seharusnya mereka menunda menjual hasil panen, namun mereka tidak berdaya karena kebutuhan hidup yang semakin mencekik mereka. Mau tidak mau akhirnya mereka harus menjual hasil panennya bahkan sebelum panen kadang-kadang mereka harus melepas hasil panen mereka ke tangan tengkulak.

Ada modifikasi formulasi lumbung desa dan perkreditan rakyat yang bisa diterapkan sebagai penolong petani miskin. Pemerintah telah mencoba menerapkan Sistem resi gudang dibeberapa daerah diantaranya Kab Banyumas (Kec Rawalo) dan Kab Demak. Gudang dengan kapasitas hingga 300.000 ton gabah ini diharapkan mampu menopang kebutuhan petani disaat paceklik. Disaat panen diharapkan petani menyimpan hasil panennya di gudang tersebut lalu mereka mendapatkan resi yang bisa digunakan untuk agunan pengambilan kredit di bank yang ditunjuk. Namun apa daya tidak semua petani bisa mengakses fasilitas tersebut. Selain kerumitan administrasi dan transportasi proses ke gudang sepertinya pihak bank juga setengah hati dalam melayani kredit petani tersebut.

Prinsip modifikasi tersebut sebenarnya bisa diterapkan dalam skala yang lebih kecil (kelompok tani atau desa). Pihak gudang membeli gabah petani saat panen dengan harga rendah kemudian menjualnya disaat harga tinggi, keuntungan dari selisih penjualan tersebut tinggal dibagi dua untuk pengurus gudang dan petani. Kendala utama dari sistem tersebut adalah modal usaha. Jika modal yang akan digunakan adalah berasal dari kredit bank, bunga bank yang relatif tinggi akan menjadi kendala yang kedua.

Bagaimanapun juga budaya lumbung desa harus dibangkitkan kembali karena ini merupakan warisan nenek moyang yang memiliki nilai luhur dan manfaat yang tinggi. Berawal dari diri kita marilah kita gugah pemikiran rekan-rekan penyuluh, rekan-rekan petani dan reka-rekan penentu kebijakan dalam hal ini adalah pemerintah bahwa betapa pentingnya keberadaan lumbung padi sebagai penopang kesejahteraan petani di suatu desa.

-by maspary-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar